Jumat, 23 Desember 2011

Melihat Jakarta Dari Balik Jendela Museum

REP | 01 December 2011 | 10:31 54 0 Nihil
 


13230587591884829217

Museum Sejarah Jakarta dilihat dari Taman Fatahillah (foto: Google)

13230588551405552054

bola-bola besi yang diikat ke kaki tahanan, ketika dimasukkan ke penjara di bawah tanah (foto: Google)

MUSEUM Sejarah Jakarta, merupakan bangunan bertingkat nan megah yang dikeliling oleh bangunan lain dengan arsitektur Belanda. Lokasinya strategis, mudah terjangkau oleh berbagai jenis transportasi. Ini karena posisinya tak jauh dari Stasiun Kereta Api Beos, Jakarta Kota dan dilewati jalur Busway.

Rabu (30/11) sore kemarin, di tempat ini berlangsung hajatan “Gebyar Fatahillah” yang digelar selama 5 hari (26-30 November) di Area Taman Fatahillah Museum Sejarah Jakarta. Rabu petang itu, sudah penutupan. Acaranya semarak karena di lokasi tersebut, berdiri tenda-tenda putih yang memajang berbagai benda bersejarah dan, tentu saja, sejumlah souvenir bagi pengunjung. Tak ketinggalan komunitas sepeda ontel.

“Gebyar Fatahillah ini, rasanya seperti reuni dan tempat bernostalgia. Banyak kenangan saya di tempat ini karena saya pernah menjadi Kepala Dinas Museum dan Sejarah Provinsi DKI Jakarta, antara tahun 1990-1996, ” kata Dirman Surachmat, yang didaulat maju ke podium memberi sambutan.

Sore itu, wajah pria kelahiran Ciamis, Jawa Barat yang setelah pensiun aktif sebagai pemerhati museum ini, tampak terharu karena acara Gebyar Fatahillah dirangkaikan dengan peluncuran  buku karangannya berjudul

“Tapak Dalam Ingatan”. Sejumlah teman lama dan mantan sejawatnya, hadir dan mendapat cinderamata berupa buku yang berisi kumpulan karangan tentang peninggalan arkeologi, sejarah Jakarta, dan permuseuman ini.

Museum Sejarah sendiri, didirikan  di  Kota Batavia (sekarang Jakarta) oleh pemerintah VOC Belanda pada tahun 1707. Namun baru selesai tahun 1710. Dalam perjalanan sejarahnya, bangunan itu pernah menjadi Gedung Balai Kota Batavia dan Pengadilan Pemerintah Hindia Belanda, dan sekaligus di bawahnya menjadi penjara tahanan politik maupun kriminal biasa.

Pada zaman pra kemerdekaan, gedung itu juga pernah menjadi Museum Oud Batavia. Sedang pada zaman kemerdekaan pernah menjadi markas Kodim Jakarta Barat, sebelum kemudian diresmikan menjadi Museum Sejarah Jakarta pada 30 Maret 1974 oleh Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Koleksi Museum Sejarah Jakarta

Tercatat museum ini memiliki koleksi sebanyak 23.500 barang dari beragam material dan bentuk seperti terbuat dari logam, kayu, kristal, kaca, batu, keramik, gerabah, tekstil, kulit, kertas dan tulang. Benda- benda tersebut dari zaman prasejarah seperti yang ditemukan di daerah Kalibata, Pasar Minggu dekat aliran Ciliwung sampai gerobak dorong  dan becak yang dilarang beroperasi di Jakarta sejak tahun 1990.

Namun benda benca cagar budaya yang diunggulkan di Museum Sejarah Jakarta ini adalah meriam Si Jagur tahun 1641, pedang eksekusi, sketsel (pembagi ruang)  panjang 3 meter bergaya Baroque dari abad 18.
“Khusus untuk sketsel kayu berukir itu, tahun lalu pernah dipinjam pemerintah Inggris untuk dipamerkan di museum London selama sebulan,” kata arkeolog Dwi Martati, Rabu (30/11), disela-sela acara Gebyar Fatahillah. Dwi Martati — yang kini menjabat Kepala UPT Museum Bahari — ini memang pernah menjadi Kepala Seksi Koleksi dan Perawatan di Museum Sejarah Jakarta.

Selain meriam Si Jagur tahun 1641, pedang eksekusi dan sketsel, di Museum Sejarah Jakarta juga terdapat lukisan perang tentara Mataram pimpinan Sultan Agung melawan Batavia yang dipimpin Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen karya S. Sudjojono tahun 1974. Lukisan cat minyak di atas kain kanvas berukuran 10 x 3 meter ini, pernah dikonservasi pada tahun 2008  oleh para konservator Indonesia dan Singapura dengan pengawasan dra Enny Prihantini sebagai Kepala Balai Konservasi. Kini Enny Prihantini memimpin Museum Sejarah Jakarta tersebut.

Satu lagi koleksi favorit  Museum Sejarah Jakarta yaitu  Patung Dewa Hermes  yang sering digunakan untuk berfoto  para pengunjung museum ini, atau foto foto prawedding di lokasi itu. Patung perunggu tersebut asli dan dahulunya  bertengger di  Jembatan Harmoni sejak tahun 1940-an. Tiba tiba tahun 1999 patung itu menghilang dan membuat heboh masyarakat karena banyak dimuat di media massa. Setelah ditemukan, patung tersebut dikonservasi dan dipasang  di  halaman dalam museum ini agar aman.  Sedangkan yang berada di jembatan Harmoni kini hanyalah replikanya saja.

Salam,
NAH (Nur Aliem Halvaima)
aliemhalvaima.blogspot.com
1322709856258980321

Dua merpati memadu kasih di depan spanduk Gebyar Fatahillah (Foto: NAH)

0 komentar:

Posting Komentar