Melompat dari atas “Jembatan Cinta” Pulau Tidung
REP | 23 November 2011 | 20:00 155 5 1 dari 1 Kompasianer menilai inspiratifBERWISATA ke pulau? “Siapa takut! Pasti seru dan heboh nih,”
pikir saya. Itu pertama kali terlintas dalam pikiran saat diundang
oleh UPT Museum Bahari, Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi DKI
Jakarta, meliput program acara bertajuk “Duta Wisata Bahari”.
“Kita bermalam di pulau, Pak. Pulau Seribu,” terdengar suara
seorang wanita dari ujung sana. Beliau memperkenalkan diri sebagai Ibu
Dwi Martati, yang tak lain adalah Kepala UPT Museum Bahari, yang
berkantor di Jl. Pasar Ikan Nomor 1 Jakarta Utara ini.
Saya langsung membayangkan suasana laut. Berimajinasi bagaimana melintasi laut,
dalam pelayaran dihempas ombak, kapal oleng. Wuih.. sensasinya terasa
benar.
Menyebut Pulau Seribu, ingatan kembali ke masa 25 tahun lalu
saat gugusan kepulauan di Teluk Jakarta ini masih masuk wilayah Kota
Administrasi Jakarta Utara. Ya, belum berdiri sendiri sebagai satu
Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Transportasi laut
menjadi problema tersendiri.
Terbayang jelas ketika itu, mesin kapal yang mengangkut
rombongan kami — Sekretaris Kota Jakarta Utara, Pak Rachmat – tiba-
tiba ngadat dan mogok di tengah laut dalam perjalanan kunjungan dinas
ke Pulau Pramuka, masih gugusan Kepulauan Seribu.
“Kalau waktu itu kita tidak ditolong nelayan, kita bisa
terbawa arus dan terdampar di Australia,” canda Marhongkom Tobing,
teman jurnalis yang juga ikut dalam rombongan. Doa panjang seolah tak
cukup bagi penumpang yang di atas kapal ketika itu.
Masalah transportasi ke Kepulauan Seribu, selama ini memang
dianggap mahal oleh warga DKI Jakarta karena lebih banyak yang
carteran dari pada yang yang regular.
“Faktor inilah yang menyebabkan sedikitnya warga Jakarta
sendiri mengunjungi Kepulauan Seribu tersebut meskipun masih wilayah
DKI Jakarta. Hanya sekitar 15% penduduk DKI Jakarta yang pernah ke
Kepulauan Seribu,” kata Bupati Kepulauan Seribu, Drs H Ahmad Ludfi
ketika melantik Putra Putri Bahari 2011 di Pulau Bidadari, awal
Oktober lalu.
Akan tetapi nyatanya wisatawan yang mengunjungi 12 pulau
resort dan pulau penduduk di Kepulauan Seribu tiap tahun meningkat,
baik wisnu (wisatawan nusantara) mapun wisman (wisatwan mancanegara).
Tercatat tahun 2009 sebanyak 141.227 wisatawan, 2010 menjadi 247.376,
dan tahun 2011 mencapai 344.000 lebih sampai awal November.
Maka, pagi-pagi buta saya sudah meluncur dari rumah di Bekasi
menuju Dermaga Marina, Ancol. Itu tentu saja, setelah bergonta-ganti
angkutan umum. Untungnya sudah ada jalur Busway hingga ke Ancol, dan
haltenya tak jauh dari dermaga, hingga tak terlalu perlu bermandi
keringat di pagi hari. Tiba di dermaga, sudah ada dua kapal pesiar:
Miss Lee, yang sandar.
PULAU TIDUNG
Dua kapal mewah bertarif jutaan rupiah ini, kemudian
mengangkut rombongan kami langsung ke Pulau Tidung yang berangkat
pukul 08.00 WIB. Perjalanan menyita waktu sekitar 1,5 jam melintasi
laut, dihempas ombak, kapal sedikit oleng.
Kepala Seksi Pariwisata Sudin Parbud Kabupaten Kepulauan
Seribu, Tjetje Rachman mengakui, selain Pulau Untung Jawa maka Pulau
Tidung merupakan pulau berpenduduk nelayan yang cukup banyak
dikunjungi wisatawan.
Luas wilayah Pulau Tidung mencapai 53,13 ha dengan penduduk
sekitar 4000 jiwa. Namun setiap week end pengunjung pulau ini bisa
melebihi jumlah penduduknya. Pulau Tidung memiliki fasilitas akomodasi
cukup memadai berupa 155 homestay.
Yang khas di Pulau Tidung adalah ikon “Jembatan Cinta”
sepanjang 800 meter yang dibangun tahun 2004. Di jembatan inilah kedua
kapal kami (Miss Lee) bersandar. Di bawahnya setiap saat melintas
Banana Boat, semacam perahu karet yang ditarik speed boat, dimana
penumpangnya sengaja minta ditumpahkan ke laut. Byuurr… dan mereka
akhirnya bersorak kegirangan, ada pula yang menjerit ketakutan.
Beberapa saat kami tiba di Pulau Tidung setelah berganti
pakaian, saya hampir dipermalukan oleh rasa ketakutan saya sendiri. Di
jembatan setinggi 10 meter dan air laut di bawahnya sedalam 8 meter,
bergantian rombongan kami (tentu yang bernyali besar) melompat ke
dasar laut.
“Takut? Nggak berani? Ayo ikut. Lihat nih ibu loncat ya…,”
kata suara itu. Eh seperti tidak percaya, saya langsung menoleh. Ya
ampun, ternyata wanita pemberani itu adalah ibu Dwi Martati, Kepala
UPT Museum Bahari. Saya akhirnya ikut-ikutan melompat dengan seluruh
keberanian yang ada, dan tentu saja, lengkap dengan pelampung pinjaman
dari Ibu Yani, staf pegawai Ibu Dwi di Museum Bahari. Hehehe..
Sore hari, kami cabut dari Pulau Tidung dan bermalam di
cottage yang ada di Pulau Bidadari. Di tempat ini berbagai kegiatan
telah menunggu. Sore hari esoknya lagi, dua kapal pengangkut rombongan
pun kembali ke Jakarta dikawal hujan gerimis. Tak terasa, 31 jam
lamanya kami lewati sambil menikmati suasana laut bersama para Duta
Wisata Bahari.(** aliemhalvaima@yahoo.com)
0 komentar:
Posting Komentar