Belum Dibayar Uang Ganti Ruginya, Satu Rumah Masih Bertahan di Bantaran Banjir Kanal Timur
Keterangan gambar :
BERTAHAN DI BKT -- Satu unit rumah milik Yuliar (53) di RT 10/02 Nomor 36 Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur yang sampai saat ini masih bertahan di bantaran Banjir Kanal Timur (BKT).Ada apa rupanya? Belakangan, rumah tersebut sudah dibongkar pemiliknya karena masalahnya sudah selesai. Uang ganti rugi sudah diterima. (Foto2: Nur Aliem Halvaima/Harian Terbit)
KETERANGAN TAMBAHAN:
Tulisan ini dibuat sekitar Nopember 2011 saat kondisi masih ada rumah yang bertahan di lokasi. Namun memasuki tahun 2012, sekitar bulan Januari, kondisi lapangan sudah berubah. Rumah yang semula bertahan ini, sudah dibongkar, pemiliknya sudah menerima ganti rugi. Dengan demikian, telah kami revisi atas artikel ini. Terima kasih. (Aliem Halvaima)
Sungguh ironis, walau Banjir Kanal Timur (BKT) telah dialirkan dan tembus ke laut sejak tahun 2009 lalu namun hingga kini masih menyisakan satu unit rumah milik Yuliar (53) di RT 10/02 Nomor 36 Cipinang Muara, Jatinegara, Jakarta Timur. Rumah yang berdiri di atas lahan seluas 215 meter persegi itu, kabarnya hingga kini belum dibebaskan oleh P2T (panitia pengadaan tanah) setempat. Padahal lokasi rumah persisi berada di atas bantaran kali dan di samping jembatan.
Pantauan di lapangan, kondisi rumah yang dibangun sejak tahun 1998 itu kondisinya sudah memprihatinkan. Atapnya banyak yang rusak dan dinding tembok retak-retak. Di rumah ini terdapat delapan jiwa dalam satu keluarga. Kini pemiliknya, Yuliar, berharap, pemerintah segera membebaskan rumahnya, mengingat saat ini tinggal sendirian di bantaran BKT.
Amilah (46), isteri Yuliar, mengatakan, sebenarnya pada tahun 2007 lalu, tanah dan bangunannya akan dibebaskan oleh P2T setempat. Namun karena luas lahan yang dibebaskan itu tidak sesuai dengan jumlah yang sebenarnya maka ia menolak. Pengakuannya, pihak kelurahan setempat saat itu hanya mengklaim bahwa lahan yang akan dibebaskan seluas 165 meter persegi. Padahal, lahan miliknya, sesuai tertera dalam girik leter C, luasnya mencapai 215 meter persegi.
"Saat itu saya menolak dibebaskan karena pihak kelurahan hanya mencatat tanah saya luasnya 165 meter persegi. Padahal totalnya seluas 215 meter persegi. Anehnya, tanah punya tetangga di sebelah saya, saat dibebaskan jadi bertambah dari 338 meter persegi jadi 472 meter persegi," katanya, Selasa (29/11). Kemudian lahan milik tetangga lainnya juga ada yang berkurang 30 meter namun saat ini telah dibebaskan.
Amilah, pada tahun 2007 sempat minta dilakukan pengukuran ulang kepada tim P2T. Saat itu ia diminta untuk melampirkan surat PM1 dari kelurahan setempat, sebagai salah satu persyaratan. Namun entah kenapa pihak kelurahan tidak memberikan surat PM1. Janjinya akan dilakukan ukur ulang namun hingga saat ini belum ada realisasinya.
Ia menduga, dalam pembebasan lahan tersebut banyak mafia tanah yang bermain. Sehingga banyak warga yang merasa dirugikan, termasuk dirinya. Yang membuatnya heran, tiba-tiba lahan miliknya diklaim oleh Zaini, warga Bintara 17, Bekasi Barat. Ia digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Timur namun gugatan tersebut ditolak. Ia mengaku tak habis pikir, tidak memiliki kesalahan namun digugat pihak lain.
Kini ia berharap, agar lahannya segera dibebaskan pihak pemerintah sesuai dengan luas lahan yang ada. Saat ini secara psikologis, keluarganya sudah depresi, hanya tinggal satu rumah di bantaran kali. Bahkan sejak tahun 2010 lalu pihaknya sudah tidak diberikan PBB (pajak bumi dan bangunan) oleh instansi terkait.
Namun pernyataan Amilah itu ditampik Wakil Lurah Cipinangmuara, Husni Abdillah. Menurutnya, kejadian sebenarnya bukan masalah perbedaan luas lahan. Melainkan adanya gugatan dari Zaini di PN Jakarta Timur. Karena lahan ada yang mengklaim maka P2T menyerahkan kasus tersebut ke pengadilan dan dilakukan konsinyasi. Belakangan gugatan Zaini ditolak sehingga pihak Yuliar menang.
Mengenai adanya penolakan dari Yuliar karena lahannya tak sesuai dengan girik miliknya, ia mengaku tidak tahu menahu. Kalaupun ingin dilakukan pengukuran ulang, hal tersebut kewenangan P2T. Pihaknya juga tidak berani mengeluarkan surat PM1 mengingat saat ini sudah ada putusan pengadilan soal pembayaran ganti rugi tersebut.
"Jadi sebenarnya lahan tersebut telah dibayar oleh Dinas PU melalui proses konsinyasi di pengadilan. Sekarang uangnya tinggal diambil oleh Yuliar. Kalau surat PBB tidak keluar lagi karena memang data konsinyasi sudah masuk ke PN sejak tahun 2008," katanya.
Hal senada ditandaskan Eka Dharmawan, Kabag Tata Ruang dan Lingkungan Hidup Jakarta Timur. Gugatan telah dimennagkan oleh Yuliar dan saat ini uang gantit rugi telah dititipkan di PN Jakarta Timur, tinggal diambil. Persoalannya saat ini adalah, pihak Yuliar meminta agar uang ganti rugi itu nilainya sesuai dnegan NJOP berjalan tahun 2009. Padahal konsinyasi itu terjadi saat tahun 2007 sehingga secara otomatis ganti rugi pun sesuai NJOP tahun 2007.
"Dinas PU kan sudah membayar ganti rugi melalui PN, silahkan ambil dong. Kalau sekarang minta diukur ulang, itu persoalan gampang, tinggal ajukan ke P2T pasti kita proses. Hanya persoalannya sekarang, sudah ada putusan pengadilan soal konsinyasi, sehingga secara otomatis tugas P2T telah selesai," tukas Eka Dharmawan. (aliem)
www.aliemhalvaima.blogspot.com
email: aliemhalvaima@yahoo.com
0 komentar:
Posting Komentar