Minggu, 30 Oktober 2011

Tanggal : 29 Oct 2011
Sumber : Harian Terbit

JAKARTA - Baru sepuluh hari reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu jilid II bekerja - sejak diumumkan Selasa (18 Oktober 2011) oleh Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) - sudah berujung ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasalnya, dasar hukum pengangkatan para wakil menteri oleh SBY tersebut, dinilai rentan dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme (KKN).

"Kami melakukan upaya hukum ke MK guna mencegah resistensi KKN dalam penyelenggaraan negara, khususnya dalam pengangkatan wakil menteri tersebut, demi terwujudnya pemerintah yang bersih dan bebas dari KKN," kata Ketua Gerakan Nasional Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (GN-PK) Pusat, Adi Warman, SH, MH, MBA kepada Harian Terbit, Sabtu (29/10) pagi.

Menurut Adi Warman, dasar hukum SBY dalam pengangkatan para wakil menteri tersebut adalah pasal 10 Undang-Undang No.39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara, dengan diangkatnya 13 orang wakil menteri baru pada tanggal 19 Oktober 2011. Dengan pelantikan ini, keseluruhan wakil menteri menjadi 20 orang.

Karena itu, kata Adi Warman, pihaknya membentuk Tim Advokasi GN-PK yang terdiri M. Arifsyah Matondang SH, Syariful Alam SH, Nugraha SH, Nur Aliem Halvaima SH, untuk mengajukan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara terhadap UUD RI Tahun 1945 ke Mahkamah Konstitusi.

Permohonan pengujian materiil dari Tim Advokasi GN-PK tersebut, sudah diterima dan terdaftar di Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI dengan registrasi perkara No. : 390/PAN.MK/X/2011, tanggal 26 Oktober 2011.

Menurut Adi Warman, Tim Advokasi GN-PK sebagai upaya menyikapi materi pidato SBY saat mengumumkan nama-nama Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II hasil reshuffle dan nama wakil menteri, sepanjang penafsirannya "yang menyamakan" kedudukan wakil menteri dengan wakil presiden, wakil gubernur, wakil bupati dan wakil walikota.

"Itu sebabnya kami meminta kepada Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung konstitusi, yang berhak memberikan penafsiran terhadap sebuah ketentuan pasal-pasal dan undang-undang agar berkesesuaian dengan nilai-nilai konstitusi, karena tafsir Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya tafsir atau the sole interpreter of constitution yang memiliki kekuatan hukum," kata Adi Warman. (aliem)

0 komentar:

Posting Komentar