Jumat, 23 Desember 2011

Bertemu Sesama Pengagum Pramoedya Ananta Toer di “Kompasiana”

REP | 06 December 2011 | 12:25 48 2 1 dari 1 Kompasianer menilai menarik
1323150285695612167
Banyak buku-buku karangannya, tapi saya juga termasuk orang yang telat baca seperti pengakuan Mbak Annisa  F. Rangkuti, dalam sebuah artikelnya yang ditulis di www.media.kompasiana.com
Beberapa buku yang saya koleksi, justeru karangan orang lain mengenai sosok Pram, atau lengkapnya Pramoedya Ananta Toer

Suatu saat, entah tahun berapa ketika itu, ya kira-kira tahun 1985-an, saya ditugaskan dari kantor selaku wartawan meliput acara peluncuran buku karya tokoh Betawi, Ridwan Saidi. Bukunya bercerita soal sosok almarhum Mahbub Junaedi, penulis kolom terkenal di zamanya.

Tempat peluncuran bukunya di sebuah rumah di Pasar Minggu, Jakarta Selatan, tak jauh dari Taman Pahlawan Kalibata. Menurut informasi, rumah ini sekaligus sekretariat Yayasan Bung Karno. Waktu itu seingat saya, hadir istri almarhum Mahfud Junaedi dan anak-anaknya yang sengaja datang dari Bandung.

Begitu acara peluncuran buku selesai, saya bermaksud buru-buru pulang. Di pojok sebuah ruangan, di bawah sebuah gambar besar Bung karno, saya melihat banyak orang ramai-ramai berkerumun. Eh rupanya ada cara foto bersama dengan seorang laki-laki sepuh. Saya kebetulan melintas, dan seorang ibu tiba-tiba menyerahkan kamera sakunya dan minta saya memotretnya. Mungkin sebagai ucapan terima kasih, saya kemudian dapat “bonus” bergantian ikut dipotret dengan lelaki tua itu.

Lama acara itu berlalu, saya kemudian tenggelam kembali dalam tugas rutinitas sehari-hari. Hasil liputan peluncuran buku tadi, kemudian dimuat di halaman depan Harian Terbit (Pos kota Grup).  Setelah lelaki itu meninggal, belakangan saya baru tahu kalau dialah Pramoedya Ananta Toer. Sayang foto bersejarah itu, entah di mana kini. Tapi itulah satu hal yang membanggakan saya-, bahwa pernah suatu waktu,  berfoto bersama penulis terkenal dan fotonya itu, entah kemana sekarang hehehehe……

Dan kenapa tiba-tiba saya ingin menulis tentang Pram? Inilah rahasianya. Saya terus terang terinspirasi oleh tulisan artikel Mbak Annisa F. Rangkuti di Kompasiana.com. Supaya tidak penasaran, saya kutipkan sebagian.

Saya hanya tahu ia anggota Lekra, organisasi sayap kiri pada masa orde lama. Ia kerap mengkritik pemerintahan yang sedang berjaya lewat karya-karya sastranya. Karena keberaniannya itu, ia sempat beberapa kali ditahan sejak zaman penjajahan Belanda hingga kepemimpinan Soeharto. Terakhir, karya-karyanya sempat dibredel dan ia sendiri menjadi tahanan politik karena dianggap pro komunis, yang membuatnya diasingkan ke Pulau Buru. Namun demikian tak menyurutkan apresiasi internasional terhadap karya-karyanya. Salah satunya Ramon Magsaysay Award (1995), yang sempat membuat sastrawan besar lainnya gerah atas penganugerahan tersebut. Selebihnya saya mengenal “Bumi Manusia” sebagai salah satu masterpiece-nya. Entah apa isinya pun saya tak tahu.

Demikianlah, secuil pengetahuan dan perkenalan saya dengan Pram. Sangat singkat dan dangkal. Dan saya tak terlalu ingin mencari tahu. Entah kenapa. Mungkin sedang malas saja. Saya berpikir, pastilah karyanya itu termasuk karya “berat”, sehingga sampai dibredel. Ah, saya sedang malas berlarut-larut dalam kisah berat semacam itu. Nanti saja. Lagipula, tersiar kabar kalau sekarang sudah sulit mencari buku Pram. Entah benar entah tidak. Saya pun enggan mencari tahu. Maka setiap ada kesempatan ke toko buku, saya lupa untuk mencari Pram.

Tapi seorang sahabat kompasianer, Jemie Simatupang, lalu menyarankan saya berteman dengan Jejak Langkah di Facebook. Jejak Langkah, yang belakangan saya tahu adalah nama yang diambil dari judul buku ketiga Pram. Ia tahu saya cukup penasaran dengan sosok Pram, mengingat saya beberapa kali berkomentar di tulisan-tulisannya kalau saya ingin bertemu Pram, di dalam bukunya. Saya ingin mengenal dan menyelami pemikiran Pram. Itu pun setelah ia beberapa kali “kepergok” menuliskan tentang Pram dalam tulisan-tulisannya, yang ternyata sukses menginspirasi dan mengundang minat saya untuk berkenalan dengan Pram
132314426284974608
dok. Jejak Langkah

Singkat cerita, saya pun berteman dan bertanya tentang keberadaan “Bumi Manusia” pada Jejak Langkah.  Saat itu cuma itu judul Pram yang saya tahu. Saya sudah memutuskan akan menuntaskan rasa penasaran saya kali ini. Tidak ada lagi kata menunda. Tak menunggu lama, lantas ia pun menawarkan buku itu lewat foto di Facebook. Kondisinya memang tampak seperti buku lama pada umumnya. Agak lusuh. Jilidannya pun tampak sedikit sobek di bagian bawahnya. Maklum, terbitan Oktober 1980, cetakan ketiga. Ia memang sudah menjelaskan kondisinya pada saya dan saya mafhum. Demi Pram, saya rela merogoh kocek yang lumayan untuk ukuran sebuah buku lama. Tambahan lagi pesan sang Jejak Langkah sebagai berikut:

Buku itu memang sudah dicetak ulang oleh penerbit Lentera Dipantara. Tapi menurut saya, buku yang Mbak pegang itu adalah buku yang sangat mahal, sebab buku itu terbit  dalam situasi Pram masih menjadi tahanan politik di Pulau Buru. Buku itu memang kami dedikasikan untuk kelas kolektor.
Hmmm….sumringah.

Tak lama, sampailah buku itu ke tangan saya. Mungkin memang karena saya tak paham bagaimana maksudnya sebuah karya langka. Saya sempat kecewa begitu mendapati ada tulisan dan tanda tangan orang lain di dalamnya. Ternyata yang dimaksud dengan buku langka itu adalah buku yang pernah dimiliki orang lain alias bekas. Setelah saya pikir-pikir, ini hanya kesalahan persepsi, kesalahan pemahaman. Bukankah segala yang antik-antik dan langka adalah barang yang sudah pernah digunakan pada zamannya?

Lepas dari masalah antik dan langka itu, saya pun mulai membaca lembar pertama, lalu lembar kedua, ketiga, dan seterusnya. Saya mencoba menikmatinya. Dan saya memang mulai menikmatinya. Lalu selanjutnya memang benar-benar menikmati. Saya senang membaca ini. Ternyata tak sepusing saat saya mencoba menikmati karya Sitor Situmorang, yang sebelumnya juga sempat membuat saya penasaran. Saya suka bahasanya. Unik dan lugas. Setting zaman kolonial Belanda-nya tervisualisasi sangat nyata. Tak berlebihan jika saya membaca ini sama seperti menonton filmnya yang saya produksi di pikiran saya. Tentang persepsi negatif yang masih ada tentang Pram yang kini sudah tiada, saya kira tak perlulah sampai memupuskan keinginan untuk menikmati karya-karyanya. Bagaimanapun, ia telah berhasil meninggalkan jejak karya sastra yang patut mendapat apresiasi tinggi.

Tapi saya belum selesai membaca. Masih akan saya lanjutkan sampai selesai. Mungkin akan berlanjut ke buku selanjutnya. Mungkin saya akan jatuh cinta pada karya-karya Pram seutuhnya, seperti cinta saya pada karya-karya Andrea Hirata. Mungkin…mungkin…mungkin…
Ah, saya mau lanjutkan baca lagi saja.***

(Terima kasih ya Mbak dilanjut lagi deh baca karangan Pak Pram…, @ NAH)

0 komentar:

Posting Komentar