kompasiana.com
REP | 15 December 2011 | 19:57 112 2 1 dari 1 Kompasianer menilai bermanfaatTIAP bangunan kuno, selain memiliki sejarah yang panjang, juga menyimpan misteri yang menjadi cerita rakyat di sekitarnya. Begitu pula dengan Museum Bahari yang terletak di Jl Pasar Ikan 1, Kelurahan dan Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini. Tiga bangunan bertingkat tersebut, memang sudah tua karena didirikan pada abad 17 dan 18 sesuai yang tertera di pintu utama masing-masing gedung. Gedung tersebut dahulunya adalah gudang rempah-rempah VOC Belanda.
Menurut cerita para nelayan di sekitar Pasar Ikan, Penjaringan dan Pelabuhan Sunda Kelapa, dahulu di lingkungan pergudangan tersebut ada seorang gadis yang cantik bernama Emma, putri mandor gudang tersebut, seorang Belanda. Secara diam-diam gadis tersebut menjalin cinta dengan penjaga gudang, seorang pribumi keturunan Ambon bernama Yakob.
Namun ketika di Batavia terjangkit wabah penyakit kolera tahun 1780, sang Mandor mengungsikan putrinya ke Pulau Onrust yang lebih aman, karena jauh dari kemungkinan penyebaran wabah dimaksud. Tapi akhirnya Emma justru meninggal di pulau itu dengan menanggung rindu, dan dimakamkan juga di situ. Sedangkan Yakob juga tidak mampu menahan dukanya. Akhirnya tidak konsentrasi dalam bekerja sehingga dipulangkan ke Ambon. Setelah itu tidak dikatahui lagi bagaimana kabarnya.
Karena itu bila nelayan melihat gadis Belanda menampakkan diri baik di pantai maupun di sekitar Museum Bahari, mereka menganggap sedang ditemani Si Emma, gadis berambut pirang yang malang itu.
Di Pulau Onrust sendiri juga ada cerita semacam itu. Tidak jarang pemancing melihat gadis Belanda malam hari menampakkan diri di pulau tersebut.
Sukma, pemandu wisata di Museum Bahari awal Desember yang lalu mengakui adanya cerita misteri tersebut. “Kalau nelayan-nelayan tua masih percaya itu Pak,” kata Sukma yang keluarganya tinggal di dekat Masjid Luar Batang, tidak jauh dari kawasan Pasar Ikan.
Pengalaman kru televisi
Cerita misteri dari Museum Bahari, juga diungkapkan Suprihardjo, wartawan senior yang banyak menulis masalah wisata. Setengah tahun yang lalu, katanya, juga ada kru televisi swasta meliput cerita sejarah Museum Bahari dan kehidupan di sekitarnya. Inilah cerita Pak Pri, panggilan akrab Suprihardjo.
“Ketika memasuki gedung C yang didirikan tahun 1779 itu, terjadi keanehan. Gian, pembawa acara stasiun televisi tersebut, tiba-tiba meninggalkan pembicaraan bersama beberapa orang dan berjalan sendiri menuju salah satu ruangan,” kata Pak Pri, mantan jurnalis dari Harian Berita Buana ini, mulai bercerita.
Ketika kembali, ia menuturkan baru saja menemui orang yang memanggilnya. Kemudian mengecek kepada Sukma, apakah di sini ada penghuni seorang gadis Belanda? Tentu saja dijawab tidak. Yang ada hanya kucing beranak-pianak di situ. Kontan Gian jatuh pingsan.
Baru setelah semuanya berlalu, Sukma baru berani mengungkapkan adanya cerita misteri tersebut. Termasuk kepada seluruh kru televisi yang meliputnya. “Boleh percaya boleh tidak. Soal kebenaran cerita itu, wallahu a’lam bissawab, hanya Allah yang mengetahui di balik rahasia cerita itu,” kata Suprihardjo, yang sekarang lebih memilih sebagai wartawan penulis free lance ini.
1.500 Pengunjung Setiap bulan
BERAPA sebenarnya jumlah pengunjung Museum Bahari? Tidak menentu. Namun kata Kepala Subbag TU, Irfal Guci, rata-rata per bulan antara 1000 sampai 1500 orang. Pada musim liburan, bisa mencapai 3000 sampai 5000. Namun pada waktu sepi, misalnya musim tahun ajaran baru bulan Agustus, kurang dari 1000 orang sebulan.
Di museum bahari banyak ditemukan orang berkeliling mengendarai sepeda. Mereka itu adalah pengunjung Museum Bahari juga. Ada yang naik sepeda onthel berombongan dua atau tiga orang. Ternyata mereka itu dipandu oleh pemilik sepeda yang menyewakan kendaraannya kepada wisatawan yang berkunjung ke Taman Fatahillah, Kota Tua.
Pemilik usaha sepeda itu sendiri, memiliki paket wisata sepeda yaitu Museum Wayang, Pelabuhan Sunda Kelapa, Masjid Keramat Luar Batang, Museum Bahari dan Menara “Miring” Syahbandar. Karena itu, orang-orang Museum Bahari mengakui persewaan sepeda onthel memiliki andil dalam memasyarakatkan keberadaan museum kepada pengunjung Taman Fatahillah dan Museum Sejarah Jakarta.
Apalagi sejatinya kawasan Museum Bahari dan Sunda Kelapa itulah cikal bakal kota Jakarta sejak bernama Kastil Batavia sampai berkembang ke selatan sampai stasiun Kota, Glodok, Harmoni sampai pula ke sekitar Lapangan Medan Merdeka, Monas.
Pemandu wisata, Sukma, yang selama ini tinggal di museum, juga tak kuasa menolak pengunjung yang datang sudah melewati waktu dan harus tutup pukul 15.00 WIB. Diantarlah mereka ke bagian museum yang masih bisa bercerita tentang kebaharian sekalipun hanya melihat dari luar. Bahkan, di luar kita bisa menyentuh jangkar dan meriam-meriam kuno saksi sejarah masa lalu. (**)
0 komentar:
Posting Komentar