Minggu, 12 Agustus 2012


















TANGGAL 19 Juli 2012, Surat Kabar Harian Terbit yang dulu bernama Harian Pos Sore, memasuki usia 40 tahun sejak “dilahirkan” 19 Juli 1972 dari “rahim” yang sama dengan saudara tuanya, Harian Pos Kota, koran kriminal pertama terbitan Jakarta. Kedua koran tersebut dibidani mantan Ketua PWI Pusat, mantan Menteri Penerangan dan mantan Ketua DPR/MPR era Orde Baru, H. Harmoko.



Sebuah perjalanan panjang untuk ukuran koran terbitan ibukota berskala nasional, di tengah persaingan ketat di belantara media cetak Indonesia pasca reformasi. Betapa tidak. Usia 40 tahun bagi kehidupan manusia, sering digambarkan dengan usia produktif, karena dalam kehidupan manusia, pada masa ini disebut era kemapanan yang dimulai dari usia 40 tahun. Tapi di dunia pers, justeru sebaliknya. Usia 40 tahun memasuki masa rawan.

Seperti diungkapkan Bagus Sudharmanto, wartawan senior Harian Pos Kota yang sekarang menjabat Pemimpin Umum/Pemimpin Perusahaan, media cetak khususnya surat kabar, kata dia, di usia 40 tahun adalah masa-masa kritis, rawan, dan rentan dari berbagai ancaman, godaan dan terpaan dari persaingan para kompetitor di industri pers.

Koran di usia 40 tahun, kata mantan Pemimpin Redaksi Harian Aksi (sebelumnya format tabloid, keduanya sudah almarhum), harus terus menata diri, pembenahan luar-dalam dari segi menejemen dan peningkatan SDM setelah melewati masa kritis pertama di usia 20 tahun.

“Kalau tidak cepat-cepat berbenah, media tersebut sudah keburu terkubur di usia 20 tahun, boro-boro bisa mencapai usia 40 tahun,” kata Mas Dar, panggilan akrab pria yang sehari-hari mengisi waktunya di luar kesibukan dunia jurnalistik dengan mengajar di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta.

Itu diungkapkan Mas Dar, saat memberi sambutan pada acara Temu Kangen Alumni Harian Terbit, di Restoran Sederhana, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur, Sabtu, 7 juli 2012 lalu. Tiga generasi berkumpul: dari yang masih aktif, pensiunan, dan mereka yang sudah bergabung dengan media lain, atau beralih profesi.



Teks gambar: 
Nur Aliem Halvaima (tengah) dapit oleh dua teman mantan wartawan Harian Terbit, Purwo Susanto (kiri) dan Ikhsan (kanan)  

Mengukir Sejarah

Dalam perjalanannya, Harian Terbit telah ikut mengukir sejarah perjalanan pers nasional. Berbagai peristiwa besar, tak luput dari pemberitaannya. Antara lain misalnya, kasus pembajakan pesawat Garuda DC 9 “Woyla” yang dilakukan Imron Cs di Bandara Bangkok, Thailand — berhasil dibebaskan oleh pasukan Sintong Pandjaitan dkk meski pilotnya, Herman Rante, kemudian gugur.

Gara-gara berita ini pun menjadikan Harian Terbit bersama sejumlah koran nasional lainnya, terpaksa harus “istirahat” mengunjungi pembacanya lantaran “dibredel” oleh pemerintahan Soeharto.

Peristiwa luar negeri lain yang cukup mengangkat tiras ini, yakni ketika terjadi perang Irak setelah diinvasi Amerika Serikat. Berita yang dikenal “Perang Teluk” ini sangat menguntungkan sebagai koran sore. Selain karena peristiwa perang masih bisa diliput sejak tengah malam hingga dini hari – yang tentu saja tak sempat dimuat koran pagi – juga karena Harian Terbit memang mengirim langsung reporternya (Solemanto) meliput ke medan laga.

Sukses ini coba diulangi ketika berlangsung “Perang Bosnia”. Kembali koran bermotto “Suara Hati Nurani Rakyat” ini menugaskan reporternya (Lukman Hakim Gayo). Gayo bahkan sempat dinyatakan hilang, belakangan dikabarkan selamat, setelah diketahui yang gugur itu adalah Ahmad Ramadhan, mahasiswa Indonesia yang sedang tugas belajar di sana. Pengalaman Lukman Gayo, agaknya lebih seru dibanding penyanderaan Meutya Hafid, wartawati Metro TV bersama rekan kameramannya di gurun pasir Irak.

Ada juga berita jatuhnya pesawat haji di Kolombo, atau tragedi “Terowongan Mina” saat jamaah melontar jumroh. Reporter Hariadi, ikut menjadi korban. Laporan Hariadi sempat menghiasi lembaran HL setiap hari, dimana kemudian diteruskan oleh rekannya Haji Achmad yang lolos dalam peristiwa naas itu.

Saat itu korban yang menjabat Redaktur Hukum itu tengah ikut beribadah sekaligus meliput berita. Sejumlah peristiwa tersebut menjadi berita headline (HL) yang menempati halaman pertama selama beberapa waktu.

Peristiwa dalam negeri, juga tak terlewatkan begitu saja. Tercatat misalnya berita tenggelamnya kapal penumpang PT Pelni, KM Tampomas II di Perairan Massalembo dalam pelayaran membawa ribuan penumpang dari Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta ke Pelabuhan Soekarno-Hatta Makassar.

Demikian pula Perisitwa Tanjung Priok 12 September 1984, juga tabrakan kereta api di Bintaro, penemuan mayat terpotong 13 yang menghebohkan Jakarta, pembunuhan pragawati Diece oleh Pak De Sirajuddin, tragedi bocah SD, Arie Anggara yang dibunuh oleh orangtuanya, hingga pembunuhan ibu guru Diah di tangan suaminya sendiri.

Berita yang terjadi di luar Jawa (Jakarta), juga sempat mendongkrak oplah karena didukung oleh kontribusi berita dari koresponden daerah, era 1980-1985. Antara lain sumbangan berita dari Perwakilan Harian Terbit untuk wilayah Indonesia Timur yang dikomandoi oleh Muhammad Thahir Ramli (almarhum).

Penulis (Nur Aliem Halvaima) yang ketika itu (1980) juga baru mulai bergabung sebagai koresponden dengan Kantor Perwakilan (Biro) berkedudukan di Makassar ini, ikut menyuplai sejumah berita “wah” seperti kasus pembunuhan PB Harahap, Bupati Bone, Sulawesi Selatan oleh tukang kebonnya sendiri, Kaseng, yang kemudian meninggal di dalam penjara.

Berita yang juga berhasil diliput dan terjadi di kota yang sama (Watampone), adalah pembantaian sadis terhadap seorang wanita hamil yang populer dengan sebutan “Wanita tanpa Kepala”. Juga berita pembunuhan dosen wanita yang dilakukan seorang daeng (tukang) becak. Belakangan diketahui kalau korban ternyata adalah kakak kandung dari Andi Syahrir Makkuradde, koresponden Majalah Berita Tempo, kini Ketua KPUD Sulawesi Selatan.

Jauh sebelum maraknya berita kasus korupsi seperti sekarang ini, sejumlah koresponden Harian Terbit di daerah juga termasuk besar kontribusinya hingga menjadikan koran ini banyak dicari oleh pembaca. Beberapa kasus korupsi di Sulawesi Selatan, sempat mencuat ke permukaan dan menjadi issu nasional setelah diberitakan.

Kondisi saat itu memang sangat mendukung untuk dunia pers di daerah yang masih penuh ancaman bagi ruang gerak wartawan (1980-1985), karena pada saat yang sama, Kepala Kejaksaan Tinggi setempat (ketika itu dijabat Baharuddin Lopa, almarhum), tengah gencar-gencarnya memberantas tindak pidana korupsi dengan “Operasi November”-nya.

Satu demi satu kasus korupsi menghias Harian Terbit di halaman pertama, selain rubrik daerah, seperti korupsi dana reboisasi (penghijauan), ganti rugi sekolah SD Inpres, pembebasan lahan pabrik gula Camming Bone, relokasi penjara Maros, manipulasi dana APBD Kotamadya Ujung Pandang era Walikota Abustam (sekarang Makassar), mark up ganti rugi Perumnas Sudiang hingga perluasan Bandara Internasional Sultan Hasanuddin.

Usia Sangat “Matang”

Sejak beredar pertama kali dengan 12 halaman (1972) berikut edisi Terbit Minggu dan kini 16 halaman berikut suplemen, dulunya bernama Harian Pos Sore. Masih menempati sebuah kantor di Jl Asemka, Jakarta Barat. Setelah berganti nama menjadi Harian Terbit, kemudian belakangan pindah ke Kawasan Industri Pulogadung Jakarta Timur, satu atap dengan percetakan PT Metro Pos yang masih anak perusahaan Pos Kota Grup.

Hingga kini sudah tiga kali melakukan pergantian pemimpin redaksi. Dimulai Hadikamadjaya (almarhum), Bagus Sudharmanto, Tarman Azzam. Dengan usia yang sudah sangat “matang” ini, sebenarnya tidak ada alasan untuk tidak maju dan berkembang. Terlepas bahwa harus bersaing dengan 3 kompetitornya (Suara Pembaruan, Sinar Harapan, dan Berita Buana yang sudah tidak beredar lagi), serta masa edar yang sangat sempit.

Berbagai upaya terus dilakukan pihak menejemen didukung SDM yang cukup memadai, namun hasilnya belum menggembirakan. Termasuk yang lebih ekstrim dengan “mem-pagi-kan” koran sore ini. Dimulai dengan mencetak lebih pagi sehingga bisa beredar siang, sampai pernah benar-benar beredar pagi hari (namun tidak bertahan lama) seperti koran pagi lainnya.

Pernah pula beredar dengan edisi ekstra, dengan mencetak koran dua kali di hari yang sama dengan tanggal berbeda untuk didistribusikan ke daerah.

Yang pasti, terlepas dari kelebihan dan kekurangannya, Harian Terbit suka atau tidak suka, harus penulis akui telah menjadi “universitas” tempat menempa dan menggodok reporter, wartawan, korespondennya menjadi jurnalis yang diperhitungkan. Sejumlah “alumni”-nya telah berhasil menjadi orang sukses di luar sana.

Baik sebagai (tetap) wartawan, pejabat negara, maupun mereka yang sudah beralih profesi. Dirgahayu, selamat milad, semoga Harian Terbit tetap terbit dan tidak sampai “tenggelam” di tengah samudera persaingan industri pers.

Oleh Nur Aliem Halvaima, Penulis adalah wartawan dan mantan koresponden Harian Terbit di Makassar, Sulawesi Selatan.

1 komentar:

  1. wuih rekaman sejarah reportasenya, sangat sangat patut diapresiasi, apalagi ketika reportase Mina itu, Lahul Fatihah bagi Almarhum...

    BalasHapus