Persimpangan Jl Perintis Kemerdekaan - Jl Yos Sudarso, Cempaka Putih-Pulomas, Jakarta sepi dari lalulang kendaraan. (Foto: Nur Aliem Halvaima)
SIAPA BILANG KOTA JAKARTA MACET? Itu kalimat yang mengusik pikiran saya sejak Jumat, 17 Agustus 2012, beberapa saat setelah upacara penaikan bendera merah putih. Terus terang saya galau. Antara yakin dan tidak. jangan-jangan Jakarta memang masih macet?
Selesai sholat Jumat, sekitar pukul 13.30 WIB, saya lalu berangkat dari Kota Bekasi, Jawa Barat menuju Jakarta, sambil menunggang kuda besi buatan Jepang (motor metik butut). Dialah yang selama ini dengan setia, setiap hari, menemani menyisir kemacetan lalulintas Ibukota Jakarta.
Memang, bukan karena kalimat pembuka di atas, "Siapa Bilang Kota Jakarta Macet", yang semata-mata membuat saya harus segera berangkat dari rumah. Ada tulisan BBM yang mengusik, tiba-tiba masuk ke handphone saya.
"Daeng ditunggu di Ancol. Ada bahan tulisan wisata yang bagus. Sea World Indonesia menggelar acara Agustusan bertajuk 'Penaikan Dan Penurunan Bendera Merah Putih Di Akuarium Ikan Hiu". Wah boleh juga nih, pikir saya, sambil membayangkan bagaimana upacara penaikan bendera
di dalam akuarium, ada ikan hiunya lagi.
Lepas Stasiun Kereta Api Cakung, Jakarta Timur, saya memacu dengan cepat motor metik butut di atas hamparan aspal campur cor-coran sepanjang Jl I Gusti Ngurah Rai, Klender, ke arah Jatinegara. Terus menyisir Jl Raya Matraman, Jl Salemba Raya, Jl Kramat Raya, naik ke fly over Senen-Atrium, melesat terus ke Jl Gunung Sahari, Mangga Dua, hingga Jl Martadinata Ancol dan tiba di Sea World dengan selamat, lancar dan aman. Alhamdulillah deh.
Tidak biasanya saya begitu pede memainkan gas, maklum motor butut dengan penunggangnya yang hanya punya nyali pas-pasan. Istri saya sering meledekin, setiap kali mau berngkat kerja. "Hati-hati naik motor, Pak. Nggak pake jatuh ya?" (Soal jatuh dari motor hingga perlu tukang urut langganan, agaknya harus satu cerita sendiri ya? Hehe).
Jalan yang biasanya padat oleh kendaraan, jelang lebaran jadi lengang. (NAH) |
Kembali ke cerita kenapa koq mau berlagak seperti pembalap GP kayak di sirkuit. Ya, itu karena jalan lengang, yang biasanya tegang melawan stres di jalan. Tahu sendiri, sepanjang jalur jalan protokol Jakarta, hampir setiap pagi hingga sore bahkan malam hari sekalipun, jalan muaaaceet cet (saking macetnya). Jalannya sudah sempit, eh dibangun pula jalur busway. Lengkap deh penderitaan pemakai jalan. Gak kepikiran kali para pembuat kebijakan di bidang transport itu ya?
Pulang dari Ancol, saya memilih jalur lain. Kepengen tahu apa di tempat lain juga lengang? Saya pacu kembali motor metik butut saya menuju Tanjung Priok, Jakarta Utara menyusuri Jl Raya RE Martadinata. Tidak ada bedanya: lengang. Padahal jalur ini, setiap hari truk kontainer berseliweran keluar-masuk pelabuhan hingga ruas jalan seolah harus ditambah lagi fly over, jalan tol, tokh macet juga.
Begitu juga Jl Enggano, Jl Yos Sudarso (By Pass), mulai dari persimpangan pintu masuk pelabuhan petikemas, hingga arah Plumpang, Sunter dan persimpangan Cempaka Putih. Kendaraan sepi.
Sungguh sangat berbeda seribu persen, dibanding seminggu sebelumnya ketika mengantar anak dan istri ke Pelabuhan Tanjung Priok mudik dengan kapal laut. Pas depan kantor Walikota - Polres Metro Jakut, terjebak macet. Terkurung di antara truk kontainer. Padahal tinggal sejam lagi kapal laut yang mau ditumpangi anak-istri, bakal berlayar. Huuh, membayangkan kejadian itu, penyakit maag saya jadi kumat.
Sepanjang jalan mulai sejak dari Bekasi-Jatinegara-Senen-Ancol-hingga balik pulang, dalam kondisi relatif lancar. Hanya satu-dua biji mobil angkutan umum melintas. Selebihnya mobil pribadi, dan kebanyakan pengendara motor dengan muatan yang sarat -- kardus dan tas pakaian bertumpu di atas potongan kaso di jok belakang. Mereka mungkin pemudik yang mau pulang kampung menggunakan motor.
Sampai kemudian saya menyusuri kembali jalur yang saya lalui siang harinya, yakni Jl I Gusti Ngurah Rai, Cipinang, Klender, Pulogebang menuju rumah saya di Bekasi menunggu buka puasa. Seolah-olah sepanjang jalan ini hanya disiapkan untuk segelintir orang, termasuk saya. Hahaha....
Lalu, apakah dengan begitu berarti kalimat "Siapa Bilang Kota Jakarta Macet" memang terbukti benar adanya? Tiba-tiba saya teringat teman saya, Syarifuddin Soeltan, wartawan senior dari Makassar yang kini bermukim di ibukota, dan juga sering direpotkan oleh kemacetan Jakarta
setiap hari. Dia bilang, "tidak perluji orang harus menunggu Gubernur DKI yang baru. Kalau maukow Jakarta tidak macet, tunggumi saja lebaran, tidak macetmi itu".
Atau kata teman facebook saya, Nia Pagadjang. Jangankan Jakarta yang ibukota negara RI, jalan-jalan di kota Makassar (Sulsel) saja sudah macet. Kecuali satu, yaitu Jalan(g) Kote. Asal tahu saja, "Jalang Kote" itu nama kue khas Makassar, yang di Jakarta dikenal dengan nama kue "Pastel"... hehe..
Betul mas..Jakarta itu punya orang perantauan..artinya..yang tinggal di ibukota ini, kebanyakan orang kampung semua ya, termasuk saya, hahahaha..... So, ketika lebaran tiba, ada berapa jumlah kendaraan yang berseliweran di jalanan, ya itulah sebenernya jumlah penghuni Jakarta, hehee
BalasHapus