Istri saya, Sitti Rabiah, S.Pd sedang tekun membaca buku di Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rawamangun, Jakarta Timur untuk menambah wawasannya sebagai guru (Foto: Nur Terbit) |
Pada awalnya istri saya
bukanlah seorang guru. Dia sebelumnya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa
seperti layaknya ibu rumah tangga lainnya. Setiap hari sibuk mengasuh anak,
mengurus suami, mencuci, memasak, membenahi rumah dan perabotnya. Dia tidak punya waktu untuk membaca apalagi menulis.
Pada suatu saat istri saya
ingin belajar bagaimana mengasuh anak dengan baik dan secara Islami. Maklum
kami berdua terlahir dari keluarga taat beribadah dan hampir seluruh anggota keluarga besar kami
menyandang gelar haji.
Maka dengan memberanikan
diri, dia datang ke sebuah perguruan tinggi swasta yang selama ini sudah
berhasil mencetak calon guru TK (Taman Kanak-kanak) dan calon guru SD (Sekolah
Dasar). Istri saya sempat bimbang dan ragu, karena niatnya dari awal bukanlah
menjadi guru, tetapi hanya sekedar ingin mendapatkan ilmu bagaimana mendidik
anak yang baik dan secara Islami.
Setelah mendengar informasi
dan keterangan dari tata usaha perguruan tinggi tersebut, apa saja yang ilmu yang
didapatkan selama kuliah, rupanya istri
saya mulai tertarik dan akhirnya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa.
Selama kuliah satu tahun di
Pendidikan Guru Taman kanak-kanak (PGTK), dia merasa banyak ilmu yang
didapatkan. Selain bagaimana mendidik anak yang baik, juga mendapat ilmu
bagaimana menjadi orang tua atau guru yang kreatif dan inovatif. Sampai
akhirnya kuliah diploma satu (D.1) ini diselesaikan dengan baik.
Namun lambat laun, istri saya
rupanya merasa tidak cukup hanya dengan ilmu yang didapatkan PGTK D.1 selama
ini. Akhirnya dia melanjutkan lagi ke jenjang pendidikan berikutnya yakni PGTK
D.2. Eh anehnya ketika kuliah di program diploma dua ini, impian istri saya
tiba-tiba berkembang jauh. Yang semula hanya sekedar ingin menjadi orang tua yang
mendidik anaknya sendiri, berkembang
menjadi ingin mendidik semua anak yang usianya kategori usia dini. Istri saya
sendiri mengaku tidak tahu dari mana impian tersebut tiba-tiba saja datang.
Suatu hari, teman kuliahnya
mengajak mendirikan TK (taman kanak-kanak) dengan memakai sarana rumahnya
sendiri. Maka sejak saat itu istri saya ikut bergabung menyiapkan apa saja yang
dibutuhkan dalam mendirikan TK sesuai dengan disiplin ilmu yang dia dapatkan di
bangku kuliah. Maka mulai hari itu, dia
kemudian disamping menjadi guru TK yang setiap hari mengajar di kelas, juga
sekaligus membawa anaknya sendiri untuk ikut belajar sebagai murid di TK
tersebut.
Dengan impian dan keinginan
yang kuat untuk menjadi pendidik anak usia dini dan pakar mendidik anak itu
pula, akhirnya istri saya meneruskan lagi kuliahnya ke Strara Satu PG- PAUD
untuk program pendidik anak usia dini sampai akhirnya menyandang gelar sarjana
pendidikan anak usia dini.
Istri saya terlihat sangat
menikmati dunianya yang baru sebagai ibu rumah tangga sekaligus guru TK. Sambil
mengajar di TK, sekaligus sambil mendidik anak sendiri. Di sini istri saya baru
sadar. Ternyata menjadi guru itu enak. Di samping mendidik anak orang, dia juga
bisa sambil mendidik anak sendiri. Keluarga juga tidak terabaikan karena setiap
hari paling lambat pada jam 11.00 WIB, sudah selesai mengajar. Jadi bisa cepat
pulang dan menyiapkan segala keperluan keluarga
“Ternyata untuk menjadi guru
itu perlu banyak membaca dan terus belajar. Soalnya guru yang malas membaca
maka ilmunya juga tidak akan bertambah. Ilmu yang diajarkan kepada murid hanya
itu-itu saja dari tahun ke tahun,” katanya suatu hari. Perlahan istri saya mulai meninggalkan kebiasaannya sebagai guru yang "rabun membaca".
Untuk menambah ilmu dan
wawasannya sebagai guru, istri saya kemudian rajin mengikuti berbagai pelatihan,
workshop, seminar tentang pendidikan anak yang sering diadakan oleh IGI (Ikatan
Guru Indonesia), termasuk pembelajaran IT alias teknologi informasi. Bahkan
untuk menunjang profesinya sebagai guru, diam-diam istri saya kemudian berusaha
bagaimana cara bisa memiliki sebuah komputer laptop Acer berikut modemnya.
Untuk barang yang satu ini, dia membelinya dengan cara menyicil hehehe...
Istri saya ketika diminta menjadi tim yuri lomba mewarnai untuk anak usia dini yang digelar HARIAN TERBIT dalam rangka HUT ke-40 berlangsung di TMII, Jakarta (Foto: Nur Terbit) |
IGI juga sering mengadakan
kegiatan seperti pelatihan, workshop, seminar dan lain-lain yang biayanya
sangat terjangkau, bahkan sering tidak dipungut biaya satu sen pun. Inilah yang
membuat istri saya sangat tertarik dengan segala kegiatan yang diadakan oleh
IGI. “Orang IGI itu baik-baik, taat beribadah, ceria, kreatif, familiar dan banyak ilmu yang saya dapatkan
di IGI, yang tidak saya didapatkan di bangku kuliah,” puji istri saya.
Harus saya akui, bahwa
semenjak dia bergabung dengan IGI, banyak ilmu yang dia dapatkan. Di antaranya
ilmu tentang IT alias teknologi informasi. Sejak bergabung dengan IGI, istri saya sudah
bisa mengoperasikan komputer, sudah punya akun facebook sendiri, punya email
sendiri. Bahkan lebih dari itu, berkat ilmu yang dia peroleh selama ini, dia
mengaku sangat menolong ketika dia mengikuti sertifikasi guru dan alhmadulillah
berhasil lulus. Sementara dalam kesibukan sehari-hari, istri saya juga dapat
mengisi segala macam form insentif dan tunjangan fungsional dari Dinas
Pendidikan Provinsi melalui internet.
Padahal awalnya -- ini
bocoran dari saya saja ya sebagai suaminya -- Istri saya itu sebenarnya adalah
guru yang “gaptek” alias gagap teknologi. Ibarat kata, karena "rabun membaca membuat guru lumpuh menulis". Jangankan menulis lewat komputer,
untuk menghidupkan komputer saja belum bisa dan sering minta tolong kepada saya
sebagai suami, atau kepada kedua anak kami. Repotnya, jika anak dan suami sudah
berangkat kerja sementara dia mau mematikan komputernya. Saat genting begini, istri
saya biasanya dengan terpaksa menelpon ke anaknya. “Nak gimana mematikan
komputer ini?”. Lalu dijawab anak saya, “kepret aja pakai air, Ma”. Istri saya
biasanya sewot lalu menjawab, “eeh emangnya Mama mau mematikan kompor, apa?”.
Istri saya (di depan paling kanan) saat mengikuti ujian sertifikasi guru tahun 2012 se Jawa Barat berlangsung di gedung Pusdiklat PT Pos Indonesia, Bandung (Foto: Nur Terbit) |
Nah di sinilah istri saya
menyadari bahwa ternyata menjadi seorang guru itu tidaklah sekedar mengajar dan
mendidik anak saja. Tetapi harus banyak membaca. Dengan begitu guru pada
akhirnya dapat membuka jendela dunia dengan banyak dan rajin membaca.
Semenjak jadi guru itu pula, istri
saya merasa dituntut untuk banyak membaca. Yang terjadi kemudian membaca
merupakan kebutuhan dia sehari-hari. Kesibukannya pun mulai bertambah. Dia sekarang
ini sudah mulai belajar menulis karena
banyak membaca. Istri saya juga sudah
mengajar sebagai tenaga dosen di salah satu perguruan tinggi swasta yang
mendidik calon guru TK dan PAUD.
Yang membuat saya bangga
sebagai suami, sekarang dia malah sedang menyusun tesis untuk tugas kuliahnya
di program pasca sarjana. Rupanya itu pula yang memaksa istri saya harus banyak
belajar dan banyak membaca serta menulis.
Inilah cerita tentang istri saya
sebagai guru yang berangkat dari seorang ibu rumah tangga. Semoga tulisan yang
sederhana ini bisa memberikan motivasi kepada para ibu rumah tangga dan rekan
guru-guru yang lain. Semoga bermanfaat.
Salam,
Nur TERBIT
Salam,
Nur TERBIT
www.nurterbit.com
www.nurterbit.blogspot.com
www.kompasiana.com/daeng2011
twitter: @Nur_TERBIT
facebook: Bang Nur
email: nurdaeng@gmail.com
sms: 0813 8079 6522
Salam,
Nur TERBIT
www.nurterbit.com
www.nurterbit.blogspot.com
www.kompasiana.com/daeng2011
twitter: @Nur_TERBIT
facebook: Bang Nur
email: nurdaeng@gmail.com
sms: 0813 8079 6522
Saat ini bukan jaman Ibu Rumah Tangga hanya mengurus Anak, bahkan Potensi Ibu rumah tangga untuk menghasilkan Income sangat Besar tanpa harus meninggalkan rumah.
BalasHapusHal ini ditunjang dengan kemajuan dan kemudahan akses Internet dan social Media yg mewabah diseluruh dunia
Tanpa disadari sebenarnya ibu rumah tangga mempunyai kemampuan Viral Marketing
Kebiasaan bercerita dan merecomendasikan sesuatu satu dengan yg lain.
Terima kasih komentarnya, salam
Hapus