Kamis, 27 Maret 2014










APPATAMMA BACA QURANG ...
(KHATAM QUR'AN ALA MAKASSAR)

Tradisi masyarakat Muslim di Kota Makassar, Sulawesi Selatan, dikenal apa yang disebut "Appatamma", semacam upacara Khatam Qur'an. Seseorang baru dianggap bacaan Qur'annya lengkap (30 juz + juz Amma), bila sudah melalui prosedural ini. Ya, semacam acara "wisuda" yang dihadiri oleh seluruh keluarga dekat.


Orang yang melakukan prosesi "Appatamma" ini biasanya adalah guru mengaji, atau orang tua anak yang bersangkutan jika bacaan Qur'annya juga sudah tamat, minimal bacaan fasih.

Sedang orang yang menjalani prosesi khatam ini disebut "Tau Ni Patamma". Orang yang "Ni Patamma" ini biasanya jika yang bersangkutan akan menikah, atau mengakhiri masa lajangnya. Sang guru ngaji membaca Qur'an, lalu muridnya (Tau Ni Patamma) mengikuti bacaan sang guru.

Keduanya duduk bersila. Calon pengantin menggunakan busana pengantin Makassar, duduk berhadapan dengan sang guru ngaji. Posisi Al Quran bertumpu di atas bantal yang membatasi posisi guru dengan murid. Acara "Appatamma" ini digelar, biasanya malam hari, minimal sehari sebelum hari H perkawinan.

Saya kurang tahu, sejak kapan tradisi "Appatamma" ini muncul yang biasanya dirangkaikan dengan upacara "Aggorong Tigi", yakni prosesi lain yang dilakukan sebagai tanda melepas masa lajang. Sampai sekarang tradisi masih terus dilestarikan di kalangan keluarga Muslim di kota Anging Mammiri. Itu juga yang terjadi saat menjelang pernikahan putra sulung saya, bulan Mei setahun lalu.

Jadwal dan susunan acara sudah tersusun rapih. Termasuk mengundang mantan guru mengaji dari putra sulung saya ketika masih bacaan "Iqro" di Taman Pendidikan Alqur'an (TPA), musholah di perumahan kami. Seluruh keluarga dekat juga hadir, bahkan dari perwakilan dari kampung di Makassar menyempatkan datang jauh-jauh ke Jakarta memberi doa restu. Tak ketinggalan tetangga di perumahan -- yang datang dari berbagai etnis -- ikut diundang.

Seluruh persiapan sudah final ketika para undang sudah hadir. Persoalan teknis baru muncul, ketika menerima pemberitahuan dari guru mengaji putra sulung saya. "Pak Uztad gak bisa datang, ada acara lain yang gak bisa ditinggalkan". Wah, gawat. "Tapi ada asistennya pak Uztad yang akan menggantikan". Alhmadulillah, perasaan was-was segera berganti menjadi rasa ketenangan.

Menjelang saat prosesi "Appatamma" akan dimulai, kendala baru muncul, asisten pak Uztad juga berhalangan datang. Saya dicolek oleh dua paman saya dari Makassar, yang duduk mengapit posisi duduk saya. "Bapak dari calon pengantin bisa mengambil-alih tugas pak Uztad," kata paman saya. Wah, saya yang semula tenang-tenang saja, mulai ikut tegang.

"Baca surah yang ini saja, nanti bacaannya diikuti oleh anakmu," tambah paman tadi, sambil menyodorkan Al
Qur'an. Paman tadi, sehari-hari memang adalah penghulu nikah di kampung. Saya tidak bisa menolak, tugas mulia namun berat karena baru pertama kali saya lakukan, mau tak mau harus saya jalani.

Maka, untuk yang kedua kalinya peristiwa langka dan sakral itu, terulang kembali pada diri saya. Bedanya, kalau dulu (1996) atau 24 tahun lalu saya sebagai orang yang "Ni Patamma" karena menjelang mau nikah, maka kali ini justeru sebaliknya. Saya duduk di posisi "Appatamma", yakni orang yang akan menamatkan bacaan Al Qur'an untuk orang yang mau menikah. Dan, calon pengantin itu adalah putra sulung saya sendiri. Subhanallah....

Sambil menahan rasa harus dengan peristiwa langka dan bersejarah dalam kehidupan keluarga kami, tugas itu saya jalani dengan penuh rasa tanggungjawab. Saya mulai membaca Al Qur'an diikuti anak saya. Sementara dua paman saya dari Makassar, duduk mengapit di kiri-kanan disaksikan keluarga yang lain.

Di luar rumah digelar tenda biru untuk undangan dan para tetangga. Udara malam terasa mulai dingin meski dalam ruangan orang kegerahan, tapi dada dan hati saya terasa sejuk. Ayat-ayat suci Al Qur'an
mengalun memenuhi ruangan tamu, tempat acara tradisi "Appatamma Baca Qurang" ini berlangsung. ‪#‎kenanganlama‬

Bekasi, Minggu 16 Maret 2014
Salam,
Nur TERBIT

0 komentar:

Posting Komentar