Jumat, 07 Desember 2012




Istri saya, Sitti Rabiah, S.Pd sedang tekun membaca buku di Perpustakaan Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Rawamangun, Jakarta Timur untuk menambah wawasannya sebagai guru (Foto: Nur Terbit)

Pada awalnya istri saya bukanlah seorang guru. Dia sebelumnya hanyalah seorang ibu rumah tangga biasa seperti layaknya ibu rumah tangga lainnya. Setiap hari sibuk mengasuh anak, mengurus suami, mencuci, memasak, membenahi rumah dan perabotnya. Dia tidak punya waktu untuk membaca apalagi menulis. 




Pada suatu saat istri saya ingin belajar bagaimana mengasuh anak dengan baik dan secara Islami. Maklum kami berdua terlahir dari keluarga taat beribadah dan  hampir seluruh anggota keluarga besar kami menyandang gelar haji.

Maka dengan memberanikan diri, dia datang ke sebuah perguruan tinggi swasta yang selama ini sudah berhasil mencetak calon guru TK (Taman Kanak-kanak) dan calon guru SD (Sekolah Dasar). Istri saya sempat bimbang dan ragu, karena niatnya dari awal bukanlah menjadi guru, tetapi hanya sekedar ingin mendapatkan ilmu bagaimana mendidik anak yang baik dan secara Islami.

Setelah mendengar informasi dan keterangan dari tata usaha perguruan tinggi tersebut, apa saja yang ilmu yang didapatkan selama kuliah, rupanya  istri saya mulai tertarik dan akhirnya mendaftarkan diri sebagai mahasiswa.

Istri saya (pinggir kanan) bergambar bersama Wijaya Kusumah (Omjay) dan teman-teman guru, saat menerima hadiah buku karena berhasil menjawab pertanyaan Omjay pada acara Pelatihan Pembuatan Blog Guru yang digelar Ikatan Guru Indonesia (IGI) Bekasi di kantor Walikota Bekasi beberapa waktu lalu (Foto: Nur Terbit)

Selama kuliah satu tahun di Pendidikan Guru Taman kanak-kanak (PGTK), dia merasa banyak ilmu yang didapatkan. Selain bagaimana mendidik anak yang baik, juga mendapat ilmu bagaimana menjadi orang tua atau guru yang kreatif dan inovatif. Sampai akhirnya kuliah diploma satu (D.1) ini diselesaikan dengan baik.

Namun lambat laun, istri saya rupanya merasa tidak cukup hanya dengan ilmu yang didapatkan PGTK D.1 selama ini. Akhirnya dia melanjutkan lagi ke jenjang pendidikan berikutnya yakni PGTK D.2. Eh anehnya ketika kuliah di program diploma dua ini, impian istri saya tiba-tiba berkembang jauh. Yang semula hanya sekedar ingin menjadi orang tua yang mendidik anaknya sendiri,  berkembang menjadi ingin mendidik semua anak yang usianya kategori usia dini. Istri saya sendiri mengaku tidak tahu dari mana impian tersebut tiba-tiba saja datang.

Suatu hari, teman kuliahnya mengajak mendirikan TK (taman kanak-kanak) dengan memakai sarana rumahnya sendiri. Maka sejak saat itu istri saya ikut bergabung menyiapkan apa saja yang dibutuhkan dalam mendirikan TK sesuai dengan disiplin ilmu yang dia dapatkan di bangku kuliah. Maka mulai hari itu, dia kemudian disamping menjadi guru TK yang setiap hari mengajar di kelas, juga sekaligus membawa anaknya sendiri untuk ikut belajar sebagai murid di TK tersebut.

Dengan impian dan keinginan yang kuat untuk menjadi pendidik anak usia dini dan pakar mendidik anak itu pula, akhirnya istri saya meneruskan lagi kuliahnya ke Strara Satu PG- PAUD untuk program pendidik anak usia dini sampai akhirnya menyandang gelar sarjana pendidikan anak usia dini. 


Istri saya tak mau ketinggalan menambah wawasan, seperti workshop yang digelar IGI Bekasi kerja sama Blogger Bekasi, Indosat di Pusat Diklat Indosat di Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta (Foto: Nur Terbit)

Istri saya terlihat sangat menikmati dunianya yang baru sebagai ibu rumah tangga sekaligus guru TK. Sambil mengajar di TK, sekaligus sambil mendidik anak sendiri. Di sini istri saya baru sadar. Ternyata menjadi guru itu enak. Di samping mendidik anak orang, dia juga bisa sambil mendidik anak sendiri. Keluarga juga tidak terabaikan karena setiap hari paling lambat pada jam 11.00 WIB, sudah selesai mengajar. Jadi bisa cepat pulang dan menyiapkan segala keperluan keluarga

“Ternyata untuk menjadi guru itu perlu banyak membaca dan terus belajar. Soalnya guru yang malas membaca maka ilmunya juga tidak akan bertambah. Ilmu yang diajarkan kepada murid hanya itu-itu saja dari tahun ke tahun,” katanya suatu hari. Perlahan istri saya mulai meninggalkan kebiasaannya sebagai guru yang "rabun membaca".

Untuk menambah ilmu dan wawasannya sebagai guru, istri saya kemudian rajin mengikuti berbagai pelatihan, workshop, seminar tentang pendidikan anak yang sering diadakan oleh IGI (Ikatan Guru Indonesia), termasuk pembelajaran IT alias teknologi informasi. Bahkan untuk menunjang profesinya sebagai guru, diam-diam istri saya kemudian berusaha bagaimana cara bisa memiliki sebuah komputer laptop Acer berikut modemnya. Untuk barang yang satu ini, dia membelinya dengan cara menyicil hehehe...


Istri saya ketika diminta menjadi tim yuri lomba mewarnai untuk anak usia dini yang digelar HARIAN TERBIT dalam rangka HUT ke-40 berlangsung di TMII, Jakarta (Foto: Nur Terbit)

IGI juga sering mengadakan kegiatan seperti pelatihan, workshop, seminar dan lain-lain yang biayanya sangat terjangkau, bahkan sering tidak dipungut biaya satu sen pun. Inilah yang membuat istri saya sangat tertarik dengan segala kegiatan yang diadakan oleh IGI. “Orang IGI itu baik-baik, taat beribadah, ceria, kreatif,  familiar dan banyak ilmu yang saya dapatkan di IGI, yang tidak saya didapatkan di bangku kuliah,” puji istri saya.  

Harus saya akui, bahwa semenjak dia bergabung dengan IGI, banyak ilmu yang dia dapatkan. Di antaranya ilmu tentang IT alias teknologi informasi.  Sejak bergabung dengan IGI, istri saya sudah bisa mengoperasikan komputer, sudah punya akun facebook sendiri, punya email sendiri. Bahkan lebih dari itu, berkat ilmu yang dia peroleh selama ini, dia mengaku sangat menolong ketika dia mengikuti sertifikasi guru dan alhmadulillah berhasil lulus. Sementara dalam kesibukan sehari-hari, istri saya juga dapat mengisi segala macam form insentif dan tunjangan fungsional dari Dinas Pendidikan Provinsi melalui internet. 


Istri saya (kedua dari kiri, baju putih) saat bergabung bersama Komunitas Tangan Di Atas (TDA) Bekasi untuk gerak jalan santai sepanjang Jl Raya Achmad Yani pada acara Car Free Day memperingati HUT Kota Bekasi (Foto: Nur Terbit)

Padahal awalnya -- ini bocoran dari saya saja ya sebagai suaminya -- Istri saya itu sebenarnya adalah guru yang “gaptek” alias gagap teknologi. Ibarat kata, karena "rabun membaca membuat guru lumpuh menulis". Jangankan menulis lewat komputer, untuk menghidupkan komputer saja belum bisa dan sering minta tolong kepada saya sebagai suami, atau kepada kedua anak kami. Repotnya, jika anak dan suami sudah berangkat kerja sementara dia mau mematikan komputernya. Saat genting begini, istri saya biasanya dengan terpaksa menelpon ke anaknya. “Nak gimana mematikan komputer ini?”. Lalu dijawab anak saya, “kepret aja pakai air, Ma”. Istri saya biasanya sewot lalu menjawab, “eeh emangnya Mama mau mematikan kompor, apa?”.


Istri saya (di depan paling kanan) saat mengikuti ujian sertifikasi guru tahun 2012 se Jawa Barat berlangsung di gedung Pusdiklat PT Pos Indonesia, Bandung (Foto: Nur Terbit)

Nah di sinilah istri saya menyadari bahwa ternyata menjadi seorang guru itu tidaklah sekedar mengajar dan mendidik anak saja. Tetapi harus banyak membaca. Dengan begitu guru pada akhirnya dapat membuka jendela dunia dengan banyak dan rajin membaca.

Semenjak jadi guru itu pula, istri saya merasa dituntut untuk banyak membaca. Yang terjadi kemudian membaca merupakan kebutuhan dia sehari-hari. Kesibukannya pun mulai bertambah. Dia sekarang ini sudah  mulai belajar menulis karena banyak membaca. Istri saya juga sudah  mengajar sebagai tenaga dosen di salah satu perguruan tinggi swasta yang mendidik calon guru TK dan PAUD.

Yang membuat saya bangga sebagai suami, sekarang dia malah sedang menyusun tesis untuk tugas kuliahnya di program pasca sarjana. Rupanya itu pula yang memaksa istri saya harus banyak belajar dan banyak membaca serta menulis.

Kegaitan sehari-hari istri saya sebagai guru sekaligus Kepala TK, sedang memandu acara ulang tahun salah muridnya di kelas. Dia tidak pernah menyangka bisa menjalani profesi guru yang berangkat dari seorang ibu rumah tangga biasa.  (Foto: Nur Terbit)

Inilah cerita tentang istri saya sebagai guru yang berangkat dari seorang ibu rumah tangga. Semoga tulisan yang sederhana ini bisa memberikan motivasi kepada para ibu rumah tangga dan rekan guru-guru yang lain. Semoga bermanfaat.  

Salam,

Nur TERBIT

Salam,
Nur TERBIT
www.nurterbit.com
www.nurterbit.blogspot.com
www.kompasiana.com/daeng2011
twitter: @Nur_TERBIT
facebook: Bang Nur
email: nurdaeng@gmail.com
sms: 0813 8079 6522

2 komentar:

  1. Saat ini bukan jaman Ibu Rumah Tangga hanya mengurus Anak, bahkan Potensi Ibu rumah tangga untuk menghasilkan Income sangat Besar tanpa harus meninggalkan rumah.
    Hal ini ditunjang dengan kemajuan dan kemudahan akses Internet dan social Media yg mewabah diseluruh dunia
    Tanpa disadari sebenarnya ibu rumah tangga mempunyai kemampuan Viral Marketing
    Kebiasaan bercerita dan merecomendasikan sesuatu satu dengan yg lain.

    BalasHapus